I.
Pendahuluan
Pada hakekatnya
ekonomi pembangunan merupakan bagian dari serangkaian usaha yang dilakukan guna
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Ekonomi pembangunan mulai sering terdengar
bersamaan dengan mulai bergaungnya negara sedang berkembang pasca era perang
dunia ke II. Ya, ekonomi pembangunan adalah model pembangunan ekonomi yang
diterapkan di negara sedang berkembang, karena melihat kompleksitas masalah
ekonomi yang terjadi di negara sedang berkembang.
Akan tetapi kemudian
timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan negara berkembang? Ciri-ciri
apakah yang dapat dijadikan acuan mengenai apakah suatu negara dikatakan negara berkembang ataukah negara maju?
disinilah banyak pihak memberikan kriteria mengenai negara berkembang dan
negara maju, salah satu yang membedakan keduanya yaitu pada perbedaan taraf
hidup (kaya dan miskin) masyarakat dimasing-masing negara tersebut.
II.
Negara
Sedang Berkembang
Negara sedang
berkembang mulai marak dibicarakan era pasca perang dunia ke II. Negara-negara
yang baru mengecap kemerdekaan berkeinginan tinggi untuk segara mengejar
ketertinggalan mereka dibidang ekonomi. Sedangkan negara-negara yang baru
terbebas dari penjajahan tersebut merupakan negara-negara miskin dan memiliki
banyak masalah yang sifatnya sangat kompleks. Oleh karenanya negara-negara baru
ini disebut sebagai negara berkembang, karena dorongan dari negara-negara
tersebut untuk maju dan mengembangkan negaranya serta mengatasi masalah-masalah
yang dihadapi negaranya pasca penjajahan.
Menurut M.L Jhingan ciri/
kriteria negara sedang berkembang yang secara tidak langsung juga merupakan
masalah ekonomi pembangunan di negara berkembang yaitu[1]:
1. Kemiskinan umum,
Kemiskinan itu tercermin dari rendahnya pendapatan perkapita penduduknya, yaitu
dibawah 2 USD perhari atau 1 USD perhari per orang (miskin absolute)
sebagaimana kriteria yang dipakai World Bank.
2. Mata pencaharian utama dalam bentuk
pertanian, dua pertiga penduduk dinegara berkembang
tinggal dipedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani. Terlebih lagi
pengelolaannya masih dilakukan dengan cara tradisional dan menggunakan
tekhnologi rendah.
3. Ekonomi dualistis, Dimana
di satu pihak perekonomian terpusat dikota dengan struktur yang modern dan maju
serta berorientasi pada industry dan perdagangan, di pihak lain di pedesaan
dengan segala keterbelakangannya dan berorientasi pada pertanian.
4. Sumber alam kurang terkelola, sebagian
besar negara berkembang adalah negara-negara denga sumber alam yang melimpah
seperti Indonesia dan India, namun sayangnya sumber alam tersebut tidak
terkelola dengan baik.
5. Tingginya tingkat pengangguran, jumlah
pengangguran yang tinggi juga termasuk didalamnya pengangguran tersembunyi yang
jumlahnya sangat besar di negara berkembang.
6. Ekonomi yang terbelakang, keterbelakangan
ekonomi di negara berkembang ditandai dengan rendahnya efisiensi dan
produktivitas tenaga kerjanya. Rendahnya produktivitas tersebut tidak terlepas
dari tingkat pendidikan yang rendah serta gizi dan kesehatan yang buruk.
7. Ketiadaan inisiatif dan usaha, Kekuatan
adat istiadat, kekakuan status, dan kecurigaan pada gagasan baru serta
kecurigaan terhadap keinginan intelektual telah menciptakan iklim yang tidak menunjang
eksperimen dan inovasi
8. Kelangkaan
alat modal, Tidak hanya persediaan modal yang rendah namun akumulasi modal
juga sangat rendah. Investasi bruto hanya berkisar 5-6 persen dari total
pendapatan nasional bruto. Berbeda dengan negara maju yang berada pada kisaran
15-20 persen.
9. Keterbelakangan teknologi, hal
ini tercermin dalam beberapa hal. Pertama,
biaya produksi rata-rata tinggi meski upah buruh rendah. Kedua, tingginya rasio buruh. Ketiga, besarnya jumlah tenaga kerja
tidak terdidik serta jumlah barang modal yang diperlukan untuk menghasilkan
suatu output nasional.
Kritik
terhadap ciri/ kriteria negara sedang berkembang menurut M.L Jhingan
Sembilan
kriteria negara sedang berkembang menurut M.L Jhingan seperti yang dipaparkan
di atas tampak sudah mencerminkan masalah perekonomian di negara yang sedang
berkembang secara keseluruhan. Akan tetapi ada beberapa asumsinya yang tampak
tidak sesuai dengan realitas perekonomian di negara sedang berkembang saat ini.
Pertama,
di negara berkembang masih sangat banyak penduduk yang berpendapatan sangat
rendah (1 USD perhari per orang). Akan tetapi, pendapatan 1 USD perhari memang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar penduduk
jika hidup di kota besar, jika hidup di desa maka 1 USD perhari per orang itu
sudah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia. Kedua, yang menjadi masalah pertanian dewasa ini, lebih ke
perubahan iklim global yang semakin tidak menentu serta masih lebih banyaknya
buruh pertanian daripada jumlah pemilik lahan. Ketiga, sumber alam yang lebih banyak dikelola oleh perusahaan
asing daripada perusahaan lokal. Keempat,
tingginya tingkat pengangguran dan ketiadaan inisiatif usaha merupakan dua
hal yang saling terkait, ketika seseorang memiliki inisiatif usaha, sebenarnya
di negara berkembang yang salah satu cirinya memiliki sumber alam yang
melimpah, ada sangat banyak peluang usaha yang bisa dibangun sehingga akan
sangat mengurangi jumlah pengangguran. Kelima
adanya kepuasan pada tingkat pendidikan yang masih rendah (SMA sederajat)
serta pendidikan yang tidak terfokus pada satu bidang tertentu setiap
individunya.
III.
Teori Ekonomi Pembangunan
Berbicara mengenai teori yang digunakan dalam ekonomi pembangunan,
maka kita akan berbicara mengenai tiga teori dasar dalam membedah ekonomi
pembangunan, yakni teori liberal, teori radikal dan teori heterodoks.
1) Pendekatan Teori
Liberal
Liberal diartikan sebagai bebas atau kebebasan, artinya dalam
system perekonomian setiapa individu memilki kebebasan untuk menguasai
faktor-faktor produksi utama baik yang berupa tanah atau sumber daya alam,
tenaga kerja ataupun modal. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) yang pertama kali menggagas mengenai
teori ini, salah satu gagasan utama Smith dalam teori liberal yaitu, harus
adanya kebebasan bagi setiap individu untk bertindak berdasarkan kepentingan
dirinya sendiri. Pemerintah menurutnya tidak perlu melakukan intervensi
terhadap jalannya sebuah perekonomian.[2]
Selain
Adam Smith ada beberapa penggagas teori liberal lainnya diantaranya yaitu David
Ricardo yang menyatakan bahwa adanya hubungan antar tiga kelompok dalam
perekonomian yaitu tuan tanah, kapitalis, dan buruh. Masing-masing kelompok
mandapatkan uang sewa, keuntungan dan upah. Lebih lanjut teori liberal dikembangkan
oleh pengikutnya seperti W.W. Rostow yang menyatakan bahwa “Agar suatu ekonomi
dapat melampaui masyarakat tradisional dan mencapai tahap tinggal landas maka
yang penting adalah meningkatkan laju investasi produktif dari 5% atau kurang
menjadi 10% atau lebih”.
Di
Indonesia, banyak kalangan yang tidak sependapat dengan adanya teori liberal
ini, teori ini dianggap sebagai bentuk penjajahan model baru terhadap golongan
masyarakat miskin lebih tepatnya bagi negara sedang berkembang seperti
Indonesia. Penolakan ini semakin tampak ketika pada tahun 2009 Presiden RI SBY
secara resmi meminang Boediono sebagai wakilnya, sementara sejauh ini Boediono
telah dianggap sebagi antek Neo-liberal[3]
yang selama ini dianggap telah menjadi penyebab rusaknya perekonomian di
Indonesia.
Pandangan
yang demikian kiranya perlu dianalisis lebih dalam lagi, dimana ketika setiap
orang mengerjakan sesuatu atas dasar kepentingan pribadi/ individu artinya ia
melakukan perubahan dan kemajuan bagi dirinya sendiri, lantas kemudian saat
setiap orang sudah lebih maju, maka secara umum kepentingan dan tujuan bersama
juga terpenuhi, artinya akibat dari aktivitas atas kepentingan pribadi/
individu adalah perubahan dan kemajuan bersama (masyarakat luas), itu berarti
ketika kepentingan setiap individu terpenuhi, maka secara tidak langsung juga
telah memenuhi kepentingan bersama sebagai suatu kelompok yang dinamakan
masyarakat.
2) Pendekatan Teori
Radikal
“Sistem
liberal adalah system yang buruk dan sudah ‘busuk dari dalam’ yang pada
akhirnya nanti pasti akan mengalami kehancuran dari dalam” (self destruction, Karl Marx). Ungkapan
yang dikatakan oleh salah satu penggagas teori radikal (Marxisme-Komunisme)
Karl Marx[4]
jelas sebagai bentuk kritikan dari teori liberal yang telah ada terlebih
dahulu. Menurut pendukung teori radikal, pembangunan kapitalis bukanlah bentuk
dari pembangunan dalam arti yang sebenarnya. Menurut mereka pembangunan yang
sebenarnya adalah usaha maksimal yang digerakkan oleh suatu pemerintahan
totaliter dan diktator proletariat guna mendapatkan kekayaan, dimana alat-alat
produksi merupakan milik bersama, dan barang-barang didistribusikan kepada
pekerja sesuai dengan jasa mereka selama proses produksi. [5]
Todaro
(2011: 149) mengungkapkan adanya model ketergantungan kolonial yang merupakan pendekatan
yang muncul dari pemikiran Marxis. Model ini menghubungkan eksistensi dan
langgengnya keterbelakangan[6]
terutama pada evolusi sejarah system kapitalis internasional yang sangat tidak
setara dalam hubungan antara negara kaya dan negara miskin.
Ada
empat cabang pendekatan teori radikal yaitu teori surplus values[7],
teori dependensia (ketergantungan)[8],
teori sosialisme demokrat[9]
dan teori imprealisme atau neo-imprealisme[10].
Di
Indonesia, gagasan mengenai teori radikal (sosialisme-demokrat) banyak
dikembangkan oleh wakil presiden pertama RI yaitu Muhamad Hatta. Salah satu
gagasan ekonomi yang menampakkan secara langsung bentuk sosial demokrat
tersirat dalam pasal 33, 34 dan 37 UUD 1945 yang menyangkut ekonomi. Dimana
didalamnya diatur tentang asas kekeluargaan, pentingnya peran negara untuk
kemakmuran rakyat, penciptaan kesempatan kerja dan kehidupan yang layak bagi
setiap warga negara, dan tanggung jawab negara terhadap fakir miskin serta
anak-anak terlantar.
Teori
radikal sangat terpusat pada pemerataan dan keadilan social, hal ini
berbenturan dengan salah satu dari masalah negara sedang berkembang yakni
ketiadaan inisiatif dan usaha, teori radikal sangat memperhatikan kesejahteraan
kaum buruh, ketika buruh merasa sudah cukup sejahtera, maka ia akan tetap ingin
berada di zona nyaman tersebut, dan malah tidak ingin berinsiatif untuk membuat
usaha dan mengurangi jumlah pengangguran.
3) Pendekatan Teori
Heterodoks
Penggagas teori heterodoks diantaranya yaitu A. Hirchman[11] (AS), Gunnar Myrdal (Swedia) dan Perroux (Perancis). Proses
adopsi teori dari negara maju yang kemudian diterapkan di negara berkembang
dipandang penganut teori heterodoks sebagai awal mula masalah yang tak kunjung
usai di negara berkembang. Oleh karenanya teori ini dibangun atas realitas yang
terjadi negara berkembang itu sendiri. Teori ini menjelaskan bahwasannya
pembangunan ekonomi tidak serta merta berarti menghilangkan atau mengesampingkan
budaya dan struktur sosial yang sudah ada dimasyarakat. Sebaliknya teori ini
mencoba menggabungkan keduanya untuk mencapai tingkat pembangunan ekonomi yang
lebih maju.
Todaro dan Smith dalam bukunya Economic
Development/ eleventh ed (2011: 151) menyebutkan suatu dalil yang disebut model
paradigma palsu yakni dalil yang menyatakan bahwa negara-negara berkembang
telah mengalami kemajuan karena strategi pembangunan mereka (yang biasanya
disarankan oleh para ekonom Barat) didasarkan atas model pembangunan yang tidak
tepat; misalnya model yang menekankan akumulasi modal atau liberalisasi pasar
tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan perubahan sosial dan kelembagaan yang
diperlukan.
Ada dua contoh pendekatan teori heterodoks, yang pertama yaitu teori dualisme[12] Boeke dan Perroux. Boeke merupakan penggagas pengembangan teori
sendiri yang hanya berlaku atau hanya cocok
bagi negara sedang berkembang, teori dualism masyarakat ini merupakan
teori umum pembangunan masyarakat dan pembangunan ekonomi negara sedang
berkembang yang didasarkan pada hasil kajiannya terhadap perekonomian
Indonesia. Sementara
menurut Perroux, dualism sabagaimana yang disebutkan diatas juga diakibatkan
oleh adanya struktur dominasi (dominasi perusahaan modern terhadap pasar,
dominasi spasial untuk cabang-cabang yang berorientasi keluar/ ekspor dan untuk
hubungan antar bangsa, serta dominasi negara industry atas negara berkembang). [13] Yang
kedua, teori keseimbangan dalam kemiskinan J.K Galbraith[14]
menurut teori ini ketiadaan kemungkinan investasi, teknik pertanian yang masih
tradisional, dan ketiadaan inovasi dinegara berkembang adalah sebagai hasil
dari rasionalitas kemiskinan, yaitu suatu perhitungan resiko dari penduduk
miskin.
Teori heterodoks ini sejalan dengan penemuan Easterly, setelah
melakukan penjelajahan di negara-negara tropis Asia Selatan, Afrika, dan
Amerika Selatan, Easterly menemukan bahwa teori-teori pertumbuhan yang
berkembang di Barat tidak mampu menumbuhkan perekonomian negara dunia ketiga.
Easterly juga menjadikan fakta-fakta kebuntuan teori-teori pertumbuhan itu
sebuah narasi yang sangat baik mengenai perkembangan teori pertumbuhan dan
ekonomi pembangunan.
[15]
Oleh
karena itu situasi yang terjadi di negara berkembang merupakan produk historis
yang khas sehingga tidak serta merta di tafsirkan sebagai bentuk ketertinggalan
dari negara maju.
[1] Didin S. Damanhuri,
Ekonomi Politik dan Pembangunan; Teori,
Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang (Bogor: IPB
Press, 2010) hal. 3-6.
[3] Menurut Awalil
Rizky, neo-liberalisme merupakan bentuk mutakhir dari kapitalisme. Neoliberalisme
sebagai sebuah gagasan sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1930-an.
Neo-liberlaisme tidak lain merupakan lanjutan dari konsep liberalisme yang
merupakan perkembangan pemikiran ekonomi kapitalisme
[4] Karl Marx
dilahirkan di Trier Treves, Jerman, pada tahun 1818, dari keluarga golongan
kelas menengah turunan yahudi yang
telah memeluk agama protestan. Ia meninggal tahun 1883 di London Inggris dlm
usia 75thn
[5] System ini
dianggap lebih unggul karena kebutuhan ekonomi akan tercukupi tanpa merusak
kelestarian budaya. (Damanhuri, 2010) hal. 41-42
[6] Keterbelakangan:
situasi perekonomian dengan ciri standar hidup yang rendah, yang tampak dari
adanya kemiskinan absolute, rendahnya pendapatan perkapita, rendahnya tingkat
ertumbuhan ekonomi, randahnya tingkat konsumsi, buruknya layanan kesehatan,
tingginya angka kematian, tingginya angka kelahiran, keergantungan pada
perekonomian luar negeri, dan terbatasnya kebebasan untuk memilih kegiatan yang
memenuhi keinginan manusiawi
[7] Teori surplus
values pertama kali dikemukakan oleh Karl Marx. Surplus values yaitu kelebihan
tenaga yang diberikan oleh pemilik tenaga dalam hal ini buruh tanpa menerima
imbalan apa-apa. Dalam bukunya Das
Kapital, Marx memakai tingkat surplus sebagai ukuran eksploitasi kaum
kapitalis terhadap kaum buruh (s’ = s / v)
[8] Teori
dependensia pertama kali berkembang di Amerika Latin pada tahun 1960-an. Teori
ini menjelaskan bahwa ketergantungan pada negara-negara maju yang selama ini
dialami oleh negara-negara berkembang tidak lain karena masuknya negara-negara
metropolis yang menjadi pusat kapitalis dunia.
[9] Sosialisme-demokrat
berkembang pesat di negara-negara Eropa Barat seperti di Perancis dan Spanyol.
Gambaran mengenai teori ini yaitu, adanya andil negara yang cukup besar dalam
proses menciptakan model perpajakan proresif, menganggap penting peranan buruh
sebagai kekuatan politik dalam bentuk negosiasi untuk kesejahteraan buruh, dan
berkembangnya gerakan koperasi, bank, tabungan dalam jumlah yang besar.
[10] Teori imperialism
dan neo-imperialisme dikembangkan oleh Lenin dan R. Luxemburg. Teori ini
berasumsi bahwa ketertinggalan negara berkembang diakibatkan oleh adanya
ekspansi kapitalisme terhadapa negara berkembang tersebut.
[11] Strategi
Hirchman: “dengan sengaja tidak menyeimbangkan perekonomian, sesuai dengan
strategi yang dirancang sebelumnya, adalah cara yang terbaik untuk mencapai
pertumbuhan pada suatu negara terbelakang. Investasi pada industry atau
sektor-sektor perekonomian yang strategis akan menghasilkan kesempatan
investasi baru dan membuka jalan bagi pembangunan ekonomi lebih lanjut.
Pembangunan sebagai rantai diseguilibrium”.
[12] Dualisme
merupakan koeksistensi dua situasi atau gejala (yang satu diinginkan dan yang
lain tidak) yang ekskludif satu sama lain dalam kelompok-kelompok yang berbeda
di suatu masyarakat, contohnya kemiskinan yang ekstrem dan kekayarayaan, sektor
erekonomian modern dan sektor perekonomian tradisional, pertumbuhan dan
kemandekan, serta pendidikan tinggi bagi segelintir orang di tengah banyaknya
orang yang buta aksara (Todaro, 2011: 151)
[14] Galbraith
merupakan duta besar untuk India selama masa pemerintahan Kennedy. Selain itu
Galbraith juga seorang dosen dibeberapa universitas terkemuka di AS seperti
Universitas California, Princeton dan Harvard. Ia juga menulis banyak buku,
diantaranya The Affluent Society (1958),
The New Industrial State (1967) dan Economic and Public Purpose (1973).
[15] William
Easterly, The Elusive Quest for Growth
(MIT Press: Cambridge, Massahusetts, London, England, 2002) hal. 182 http://journal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/view/667/592
(26 Nov 2013)
DAFTAR
PUSTAKA
Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C, Economic Development/ Eleventh edition, diterjemahkan
oleh Agus Dharma (United Kingdom: Pearson Education Limited, 2011)
Damanhuri,
Didin S, Ekonomi Politik dan Pembangunan;
Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang (Bogor:
IPB Press, 2010) hal. 3-6.
Easterly,
William, The Elusive Quest for Growth
(MIT Press: Cambridge, Massahusetts, London, England, 2002) hal. 182 http://journal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/view/667/592
(26
Nov 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar